Lanjutan dari tulisan saya sebelumnya tentang proses melahirkan, Melahirkan itu… (prolog).
Sampai mana ya tadi? Oh iya, sampai siap-siap ke rumah sakit. Untungnya saya sudah menyiapkan 1 koper yang isinya perlengkapan saya untuk melahirkan di rumah sakit.
Isinya:
- Daster kancing depan 2 (ternyata kurang, you need 3 at least. untung mama bawain tambahan)
- Kerudung instan
- Celana hamil 2
- Kemeja 2 (untuk pulang RS dan cadangan)
- Gurita ibu 2
- Handuk
- Toileteries (sabun, sampo, odol, sikat gigi, deodoran, parfum)
- bra menyusui (minimal 4)
- underwear
- Kamera
- Buku kontrol hamil
- Charger HP
- Kamera & Charger
- Plastik untuk baju kotor
- Pembalut nifas (saya beli pembalut ch*rm yang paling panjang pokoknya. dan ternyata cukup nyaman, dan setelah hari ke 2 darah yang keluar tidak terlalu banyak, seperti darah haid saja)
- BAJU GANTI UNTUK SUAMI ANDA (yang mana bener-bener lupa saya masukin ke koper – istri egois :p maapin saya ya mas ihihi)
- Baju tidur cadangan & mittens untuk bayi (1)
- Baju pulang bayi
- Selimut topi
- Disposable diaper untuk bayi (3)
- Breastpump, botol dan cooler bag kalau udah punya mending dibawa aja. Saya bener-bener kelupaan gara-gara buru-buru.
- Apron menyusui
Kira-kira itu lah. Banyak ya?
Dalam pikiran saya, saya langsung mikir, wah saya jangan-jangan bakal beneran ngelahirin hari ini. Akhirnya saya menyempatkan diri untuk ngambil roti dan susu bendera coklat untuk saya cemilin (dan bikin suami saya gregetan soalnya kayaknya dia mulai deg-degan, hihi). Tapi kan kita nggak tau berapa lama proses melahirkan, dan kalo lama saya mau makan dulu, karena kita tidak bisa melahirkan dengan baik kalau kita lapar 😛
On the way ke rumah sakit, yang ternyata jam setengah 3 pagi – sama seperti waktu yang selalu saya doktrinkan ke anak saya di kandungan hahaha – saya mulai menghitung kontraksi dan ternyata… kok udah 5 menit sekali sih??? Saya jadi deg-degan juga. Sampailah ke rumah sakit jam 3, dan langsung dibawa ke ruang kala (ruang tunggunya bersalin gitu).
Saya dilayani oleh seorang bidan yang melakukan tes EKG (itu bukan ya namanya? lupa hehe) sambil menunggu. Kemudian si bidan itu menjalani apa yang disebut ‘periksa dalam’ yang bukan pengalaman yang menarik buat saya -__-
“Periksa dalam dulu ya bu.”
“Hah? #@*_#*$&_@&_)$!@&^” – sakit banget cuy!
“Tenang bu, ibu mau lahiran normal nggak?”
“Mau mbak!”
“Nah, tenang dulu ya, saya periksa.”
“#&_)*$*!$!&(*$^)(^@!!!”
“Gimana mbak?” tanya suami saya.
“Udah bukaan 1 mau 2 nih.. ketubannya belum pecah, tapi bocor halus saja, karena masih ada lapisan pelindungnya.. saya hubungi dokter ika dulu ya… Bapaknya daftar dulu ya di depan.”
Dan pergilah si mbak bidannya menghubungi dokter Ika.
Berdasarkan cerita orang-orang untuk anak pertama, katanya ada yang pembukaannya lamaaa banget sampai 36 jam dan akhirnya diinduksi. Asumsi ibu saya, mungkin 8-9 jam. Saya udah mikir, apakah saya harus menunggu selama itu? Saya laper, dan saya pengen minum teh botol. Huhuhu. Saya nggak mau melahirkan kelaparan.
“Mas, aku mau teh botol. Sama sari roti sobek coklat.”
“Yaudah aku beliin,” dan pergilah suami saya daftar ke depan sekalian ke indomaret sebelah rumah sakit.
Tapi ternyata suami saya pulang dengan tangan hampa. “Yang, indomaretnya tutup.”
Noooo… 😦 😦 😦
Oke, saya kayaknya beneran akan melahirkan sekarang. Dan nggak ada yang berani mengungkit tentang kemungkinan “operasi caesar” saat itu juga :p sayup-sayup, di ruangan sebelah terdengar suara ibu-ibu lagi ngeden.
“Ayo bu, ngedennya yang panjang, jangan teriak ya bu, yak, gitu bu betul, bagus-bagus…”
“HUUUUUFFFFFF~”
“Yak sekali lagi bu…”
“HUUUUUUFFFFFFFFF~~”
Plop. Lalu terdengarlah suara tangisan bayi di ruang sebelah. Ibu-ibunya cool abis, nggak pake teriak-teriak heboh, tau-tau keluar aja bayinya. Saya dan suami liat-liatan.
“Kok dia kayaknya gampang banget sih lahirannya?”
(mungkin ini reaksi orang yang kebanyakan nonton film yang ada adegan melahirkannya – yang ibunya teriak-teriak wae)
——
Dan perut saya pun semakin mules. Sekitar jam 4, mbak bidannya datang lagi.
“Periksa dalam lagi ya bu…”
“@&$^@)!*&$)!*&@!!!!”
“Wah, udah bukaan ke-4 ini. Yuk pindah ke ruang bersalin, mumpung ibunya masih bisa jalan. Nanti kalau bukaannya sudah besar ibunya susah jalan…”
Ha. Ha. Ha. Emang bener, sekarang aja jalan rasanya juga udah setengah mati.
Saat saya keluar ruang kala menuju ruang bersalin, saya berpapasan dengan beberapa orang (kayaknya keluarga ibu-ibu yang lahiran sebelum saya). Mereka malah menyemangati saya, “Semangat ya mbak, semoga lancar lahirannya.” huhuhu terima kasih keluarga pasien tetangga. Dan saya pun masuk ke ruang bersalin.
Di sana, saya dikasih baju ganti semacam kimono untuk melairkan. Dan saya disuruh tidur miring sambil menunggu pembukaan.
Di saat mules makin tidak tertahankan, akhirnya sekaranglah saat untuk mempraktekkan ilmu senam hamil: saat kontraksi, tarik napas panjang – tahan – lepaskan. Ilmunya bekerja dengan baik, sampai bukaan ke-4. Setelah bukaan ke-4 rasanya bener-bener ngawur. Bidan menyarankan untuk menghembuskan nafas dengan ritme “fuh-fuh-fuh-fuh”. Tapi lama-lama makin nggak ketahan, dan inilah momen-momen dimana tangan suami jadi korban diremes-remes dan dibejek-bejek oleh ibu melahirkan yang lagi nahan sakit.
Saya bisa bilang, antara bukaan ke 4 sampai 7 itu paling paraahhhh banget sakitnya. Sampai saya nggak bisa ngerasain kaki saya saking sakitnya. Untungnya suami saya (yang tangannya abis saya remes-remes) selalu mendukung dan menyampaikan kata-kata yang sangat encouraging. Ibu saya juga ada di samping saya. Nah, disitulah pentingnya didampingi saat melahirkan menurut saya. Bener-bener nggak kebayang kalau melahirkan sendirian… 😦 (“oh, tenang aja, kalo melahirkan sendiri fungsi tangan suami untuk diplintir-plintir kan bisa digantiin sama tangan co-ass”, kata temen saya yang dokter dan biasa menangani persalinan orang yang pake jampersal :p)
saat periksa dalam bukaan ketujuh saya udah pasrah, terserah mbak bidan lah. Kontraksinya sakit, tapi saya juga ngantuk dan capek nahan sakit. Walhasil saya suka ketiduran dikit-dikit dan kebangun kalau kontraksinya datang. Sekitar jam 6 saya diperiksa sudah bukaan 9, dan tak lama setelah itu saya bisa merasakan ada sesuatu yang ‘turun’ ke jalan lahir saya.
“Bu, nanti kalau sudah bukaan sempurna, langsung ngeden ya…”
“Emang ngeden itu gimana mbak?” –> harap maklum karena di senam hamil ngeden baru diajarkan untuk kehamilan 37 minggu ke atas :p
“ya, kayak pup, tapi pupnya besar dan keras.”
ya sudahlah, whatever will be, will be. sudah jam 6. dokter ika belum datang. akhirnya bidan-bidan itu berkata, “bu, ini sudah jam 6 dan di luar hujan, kayaknya macet, kita takut dokter ika lama sampainya. kalau sudah waktunya, lahiran ditangani kami nggak apa-apa kan bu?”
dan saya, yang waktu itu mikirnya cuma yang penting ini anak lahir gimana caranya terserahlah, tentu saja mengiyakan. sumpah kayaknya itu kepalanya udah mau keluar heuheuheu. “Udahlah mbak, saya mah sekarang yang penting anaknya keluar selamet…”
Tapi, sumpah, udah ada lah 3 kali rasanya saya ngerasain kayaknya kepala anaknya beneran udah mau keluar (dan saya gak ngapa-ngapain lho.. anaknya mau keluar sendiri), dan bidannya bilang, “Bu jangan ngeden dulu!”
Cobak dijelaskan ke saya ngeden sama enggak itu bedanya gimana -__- walhasil, sang bidan pun menahan kepala si bayi dengan tangannya (can you imagine?).
singkat cerita, sampai saya akhirnya boleh ngeden… tiba-tiba kaki saya kesemutan. dua duanya.
“Bu, kalo udah kontraksi, ngeden ya…”
“NGGAK BISA MBAK!!! SAYA NGGAK BISA NGEDEN KALO KAKI SAYA KESEMUTAN!!! AARRRGHHH”
Suami to the rescue. Berhubung si mas udah sering banget menangani kaki saya yang kesemutan tiap kali saya bangun tidur, dia langsung sigap mijetin kaki saya. Bayangkan, kontraksi yang sakitnya maknyus, kaki kesemutan pula. Inilah definisi sebenarnya dari “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”.
Setelah prosesi pijat memijat, mulailah saya ngeden. Sekali. Dua kali. Kurang keukeuh. Ngeden aja mesti ngotot ya, gak bisa sesantai ngeden kalo lagi pup 😐
Ngeden ketiga, kepala bayinya udah nongol. Tapi karena nafas saya kurang panjang, akhirnya batal lah dia keluar. Dan saya samar-samar mendengar suara “ctik-ctik” pertanda ada yang robek. heuheu. tapi walaupun lahiran normal melibatkan robek disini dan disitu, itu gak ada apa-apanyalah dibanding sakit kontraksi.
Ngeden selanjutnya – kata suami saya muka bidannya udah pada tegang semua. Ada 3 bidan yang menangani saya, 1 bidan menunggu si bayi di jalan lahir.. dan yang 2 mijetin perut saya biar bayinya turun. Kata suami saya, setelah kepalanya keluar setengah itu sempat stuck agak lama dan itu adalah masa yang kritis, karena kalau nggak keluar bisa-bisa anaknya… you know. Tapi alhamdulillah, dengan perjuangan dibantu oleh ridha Allah via 3 orang bidan itu akhirnya saya berhasil melahirkan anak pertama saya. Setelah kepalanya keluar.. FIUH. Lega banget. Hening beberapa saat, baru setelah itu saya mendengar anaknya nangis. hehehe, alhamdulillah. Waktu itu jam 7 pagi. Total in labor process: 4 jam saja!
“Waduh, ini kepala anaknya lonjong sekali ya… Kelamaan di jalan lahir sih..” kata seorang bidan.
Terus salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? :p lagian udah mau brojol kontraksi ditahan-tahan :p
“Waduh? Terus gimana dong kalo kepalanya gitu?”
“Tenang aja bu, nanti kalau dimandiin kepalanya diusap aja pelan-pelan nanti juga bulet lagi kok kepalanya.”
“Oh oke.”
Tips: Kalo udah bukaan 10 kaga usah ditahan-tahan dah biar anaknya cepet keluar
Setelah nangis nangis dan dibersihkan, anak saya diletakkan di dada saya untuk proses IMD. Saat itu anak saya dipakein topi kupluk yang kegedean lucu banget deh :p Duh, anak saya kecil banget, lucu, gemes, masih nggak percaya ini toh yang dari kemarin ada di dalem rahim. Dan bukannya aktif merayap mencari payudara ibunya seperti yang ditunjukkan video saat seminar laktasi (saya sama suami sampe terharu.. kayaknya gara-gara backsoundnya lagu bunda melly goeslaw), anak saya malah bengong dan ileran. Huahahah :)) Tapi tetep lucu, mukanya masih planga plongo sana-sini (bingung ya nak liat dunia :p). Tiba-tiba..
“Aduh.. maaf ya saya terlambat.. kapan ini lahirnya?”
Datanglah dokter ika huahaha. Sesuai dugaan, kena macet karena hujan dan pagi-pagi (dan kayaknya beliau juga nggak nyangka prosesnya secepat ini). Semacam inspektur vijay :p akhirnya setelah halo halo dengan si newborn baby, saya pun dijahit.
Berhubung proses IMD belum berhasil dan anak saya harus dibersihkan dan diobservasi, akhirnya anak saya dibawa dulu ke perina. Eh tiba-tiba muncul bidan Yuni yang suka ngelatih senam hamil.
“Lho, mbak, udah lahiran?”
“Hehe iya nih, kecepetan.”
“Gimana mbak, senam hamilnya bermanfaat nggak mbak?”
Saya cuma cengengesan. Itu semacam dikasih tau caranya nembak pake senapan, tapi begitu turun langsung di medan perang… ya gitu deh :p
Beres, semua kelar, semua meninggalkan ruangan, mamah pun pulang untuk ngantor (emang dahsyat mama gw ini). Tinggal saya dan suami di ruang bersalin.. dan blas. Sayapun ketiduran.
Sekitar jam setengah 10 saya kebangun dan melihat suami saya ketiduran di samping tempat tidur (kayak di film-film gitu) hiks kasihan pasti pegel banget. Akhirnya saya bangunin suami dan minta dia nanya ke bidan kapan saya bisa ke kamar. Sayapun dikasih roti, air dan bubur kacang hijau. Kata bidannya, saya boleh ke kamar kalau sudah tahu cara BAK & BAB.
This is the hardest part.. karena beberapa bulan yang lalu saya masih inget temen saya yang baru lahiran bikin status FB ini:
Boker setelah melahirkan itu… sesuatu banget. #thingstheydonttellyou
Nah mau nggak mau saya juga jadi parno dong yaa.. Tapi ya kali nahan pipis ampe besok-besok, akhirnya saya pasrah saja dan pergilah saya ke toilet buat pipis.
Ternyata rasanya biasa aja deng. Nggak sakit nggak apa gitu (atau mungkin sakit, tapi karena udah mengalami sakitnya kontraksi jadi kebal.. hahaha). Saya pun laporan ke bidan dengan gembira. Berhasil. Akhirnya boleh pergi ke kamar dan saya pun diantar dengan kursi roda.
Room 201
Suami saya memesan kelas utama di kamar 201, yang ternyata kamarnya kecil sekali.. Tapi yang penting mah bisa tidur pokoknya, ngantuk parah soalnya. Anyway, there is a certain reason why you should avoid room 201 at RSIA Tambak:
- Ruangannya kecil dibandingkan kelas 1 (yess kelas 1 ada yg lebih gede ternyata. so weird)
- Nggak ada gorden di tempat tidurnya. Jadi nggak nyaman kalau mau menyusui dan lagi ada tamu (dan disinilah apron menyusui berjasa)
- Begitu ada orang buka pintu, kita bisa lihat lift langsung dari tempat tidur. Bayangin aja kalo pas ada orang buka pintu, pas pintu lift kebuka. Pokoknya parno banget dah jadinya. Sampe-sampe kamar ini saya juluki “Kamar ASI expose” karena saya suka jadi parno kalo lagi nyusuin, takut ada yang masuk hehe.
- AC nya kayaknya kurang dingin yak
Tapi walaupun begitu, ruangan kecil itu ada positifnya juga. Karena nggak muat orang banyak, tamu-tamu juga jadi nggak banyak-banyak dan nggak lama-lama, jadi kitanya bisa lebih istirahat 🙂 intinya mah, ya masih mending deh daripada gak dapet kamar. Karena pas mau pindah, ternyata udah nggak ada kamar yang kosong. Dan kamar ini juga deket banget sama perina.
Tips: Cek kamar yang kamu inginkan sebelum lahiran di rumah sakit incaran kamu untuk menghindari kamar-kamar jackpot macem kamar saya ini hahaha
Dan setelah sampai kamar, sebagaimana tujuan utama kita pergi ke kamar, kita pun tidur lagi. Untungnya ada sofa bed jadi suami saya tidur dengan cukup nyaman.
Untuk pertama kalinya, akhirnya saya berhasil megang HP. Refleks pertama:
WA DokNyom.
“Dok, maap saya nggak jadi mampir ke klinik, saya tiba2 melahirkan euy.”
BBM Niken, temen saya yang dari jaman saya hamil udah heboh banget nanya minta kado apa. Akhirnya waktu itu saya minta bantal menyusui. Dan sekarang saat paling tepat untuk klaim hadiah :p
“Cuy. Gue lahiran.”
“Haaahhhh?? Boong!! kaga percaya gue! mana fotonyaa?”
*kirim foto*
“Oke nanti gue mampir yak. Untung gue udah beli hadiahnya.”
Tips: Request hadiah ke teman-teman dan keluarga terdekat membantu anda untuk mendapatkan hadiah yang paling sesuai kebutuhan :3
Setelah itu baru ngabarin teman-teman terdekat. Sengaja nggak posting dimana-mana soalnya saya ngantuk, mau bobo dulu heuheuheu.
Lanjut lagi di posting selanjutnya 🙂