Dilema Carseat

Kalau kamu sering wara wiri dengan kendaraan pribadi dan punya bocah cilik yang selalu ngekor, artinya kamu butuh carseat!

Carseat itu apa ya?

Carseat adalah kursi khusus bayi (ya eyalaah..) yang didesain khusus agar anak kita aman dan ajeg selama kita berkendara di mobil. Desainnya juga disesuaikan dengan ukuran anak-anak, sehingga kalau terjadi kecelakaan anak-anak juga seaman orang dewasa yang mengenakan sabuk pengaman (sabuk pengaman mobil kan nggak compatible sama ukuran badan bocah).Car seat sendiri ada 2 tipe, yaitu infant carseat yang berbentuk seperti keranjang dan menghadap belakang, dan toddler carseat yang bentuknya seperti kursi menghadap ke depan.

Baby gear yang satu ini memang belum terlalu populer di Indonesia. Mungkin karena kita kebiasaan bawa anak-anak dengan kendaraan sambil dipangku. Padahal, kalau terjadi kecelakaan, anak-anak itu bisa mental dengan sangat gampang dan pastinya berbahaya buat mereka. Di negara maju, keluarga yang baru melahirkan wajib membuktikan kalau mereka punya carseat untuk membawa pulang bayinya demi keamanan si bayi.

Saya sudah sangat aware dengan urgensi carseat karena saya sering bepergian dengan anak-anak. Selain aman, carseat juga mengajarkan kita untuk mandiri. Dengan anak yang duduk aman di carseat, kita bisa mengemudi dengan tenang dan nggak perlu repot bawa asisten atau keluarga. Walhasil, waktu lahiran anak pertama, mertua nanya mau dikasih hadiah apa dan saya dengan mantap menjawab “carseat”. Mereka cuma heran karena mungkin benda itu belum populer di zaman dahulu hehehe…

Ndilalah yang dibeliin ibu mertua ternyata infant carseat, jadi cuma bisa dipakai sampai umur 1 tahun saja hiks hiks.. padahal ada carseat yang bisa dwifungsi sehingga nggak perlu beli lagi carseat yang hadap depan. Akhirnya setelah si kakak umur 1 tahun, saya jadi sering ajak ART saya buat megang si kakak.

Eh makin si kakak gede makin ngelunjak. Awalnya minta duduk di depan. Lama-lama selama perjalanan berdiri di kursi depan dan nggak mau duduk. Kacau.

Klimaksnya adalah saat saya sekeluarga harus pergi ke bandung berempat saja. Saya, suami, si kakak dan si adik. Si adik mah tenang aja ngumpet di carseat infant warisan kakaknya.. Nah si kakak ini belum punya carseat sendiri huhuhuhu. Jadilah selama perjalanan ke bandung doi berdiri di kursi depan, dan endingnya minta dipangku suami terus tidur dipangkuan suami. Di jalan tol cipularang.

Bahaya? Emaaangg… Makanya saya langsung bergalau ria mikirin carseat buat si kakak.

Pertimbangan saya untuk nggak langsung beli carseat adalah karena itu gear mahal. Harganya di atas 1 juta, dan takutnya kalau udah beli dia nggak betah. Sempat mempertimbangkan untuk sewa, harga sewanya juga lumayan ternyata. Dan carseat itu sangaaat makan tempat. Berhubung mobil sharing sama mamah, asa rempong banget ya dlm 1 mobil yang cuma 2 row ada 2 carseat.

Sampai saya menemukan benda bernama portable car seat – aslinya mah cuma kayak sabuk pengaman khusus bocah yang bisa dipasang di kursi mobil. Daripada si bocah bernanuver di mobil, coba beli dulu deh. Kebetulan harganya pun cukup terjangkau.

 

Image result for portable carseat kiddy

Macem ini portable carseatnya, maaf ya dek tante pinjem mukanya hoho

Pas banget saat kita mau pergi jalan-jalan, datanglah kiriman carseat portable ini, horeee… Kami langsung pasang di kursi depan mobil.

Dan ternyata si kakak sangat antusias dengan mainan barunya! Dia duduk tenang sepanjang perjalanan, malah bisa tidur pula. Kalau dari wujudnya saya lihat cukup meyakinkan, in case terjadi tabrakan anaknya ngga akan mental insya Allah. Akhirnya bisa pergi ke luar kota berempat saja dengan tenang… fyuuh… Dan dompet selamat jadi nggak usah beli carseat juta juta hehe.

Jadi sekarang kalau bepergian, biasanya bapak menyetir, kakak dan portable carseat nya di depan, adik di infant carseat di belakang driver, dan saya di sebelah adik 😀Sebenarnya kalau anggota keluarga sudah segini idealnya mobilnya mpv, tapi ya namanya jg mobil sharing, mudah2an Allah berkahi kendaraan keluarga kami juga supaya kami selalu selamat di perjalanan 😉

Jadi, nggak ada salahnya mencoba portable carseat untuk safety bocah di perjalanan 🙂

 

Melahirkan itu… (aftermath)

To see previous story, check:

https://thetrackofexistence.wordpress.com/2014/05/14/melahirkan-itu-prolog/
https://thetrackofexistence.wordpress.com/2014/05/14/melahirkan-itu-the-real-part/

Setelah dikunjungi oleh beberapa handai taulan dan saudara (eh sama aja bukan ya artinya?), sekitar jam setengah 2, anak saya pun diantarkan ke dalam kamar saya untuk rooming in. Hore. Berhubung anak saya mulutnya udah mangap dan lidahnya melet-melet, disimpulkan anaknya lapaar.. (iyalah 6 jam belum minum apa-apa)

Setelah dicek bidan, kolostrum berhasil keluar, dan anak saya pun langsung menyusu. Alhamdulillah, perlekatannya nggak terlalu masalah, pokoknya patokannya: mulut harus dower (mangap total) dan dagu nempel di PD. Anak saya nampak anteng nyusu jadi sepertinya perlekatannya berhasil. Horee…

Setelah melahirkan normal, alhamdulillah sorenya saya udah bisa jalan-jalan mondar mandir kesana kemari. Alhamdulillah recoverynya cepat 😀 untuk BAK dan BAB pun ternyata ga ada masalah 🙂

Apa saja sih hal-hal yang perlu diperhatikan setelah melahirkan? Banyak ibu-ibu hebooh banget sebelum melahirkan, tapi ternyata ada beberapa hal yang harus kita pelajari juga (gak cuma ngeden dan senam hamil ajaa)

1. Menyusui

ASI gak keluar? Puting lecet? Bayi nggak mau menyusu? Pasti hal-hal semacam itu yang bikin kita khawatir hehehe.. Alhamdulillah ASI saya langsung keluar saat bayi udah di saya.. tapi qadarullah kadang2 ada ibu yang ASI nya nggak langsung keluar, don’t worry dan jangan langsung memutuskan untuk ber sufor. karena bayi dapat bertahan hingga 72 jam tanpa makan/minum apa2 (kalau gak salah yaa 72 jam, coba tanya bidan sama dokternya lg hehe. waktu itu bidanku bilang gitu). Intinya tetap usahakan perlekatan PD pada bayi dan rajin2 massage PD nya juga 😀 yang paling penting: jangan stress dan makan yang banyak! karena kunci bayi happy adalah ibu yang happy. mungkin bapakbapak bisa membantu pengkondisian ibu happy dengan memenuhi wishlist2nya :p *kesempatan dalam kesempitan*

Puting lecet? Itu mah makanan ibu2 menyusui awal awal :p saya sekitar 1-2 minggu awal mengalami, akhirnya diolesin aja pakai nipple cream berbahan lanolin – membantu kok. Tapi puting lecet itu menandakan si bayi perlekatannya belum benar, jadi harus terus kita arahkan supaya dia mulutnya mangap, dower dan dagunya nempel huehehe. tapi udah 5 bulan alhamdulillah udah gak pernah lecet lagi, jd mubazir deh si nipple cream saya huhuhu.

Ohiya karena di awal kehidupannya bayi itu doyaaann banget tidur, kita harus rajin menyusuinya 2 jam sekali. kalo udah 2 jam tidur, langsung bangunin suruh nyusu. dengan bayi sering menyusu, supply ASI kita juga akan meningkat (karena supply mengikuti demand – makin banyak demand supply makin makmur :D). Di sini kita harus pinter-pinter bagi waktu, dan bantuan dari orang-orang terdekat sangat signifikan, soalnya pengalaman saya dulu saking sempitnya waktu antara menyusui, jadi aja sambil menyusui saya disuapin makan. sisa waktunya curicuri tidur dan mandi (tiap malem bangun 2 jam sekali, asik gak tuh hahahaha).

2. Jangan sampai PD kepenuhan!

Di hari-hari pertama kelahiran si bayi, saya selalu dikasih suplemen ASI sama rumah sakit. Untungnya suster dan bidan rajin memeriksa kondisi bayi dan PD ibu, jadi di hari kedua saya dikasih tau kalau PD saya sudah bengkak karena kebanyakan ASI, jadi harus rajin disusuin dan dipompa. Kalau PD mulai terasa kencang, artinya sudah saatnya kita menyusui atau dipompa aja kalau bayinya baru menyusu. Kalau PD kencang dibiarin kelamaan, akan terasa beberapa bagian mengeras (kalau diraba ada gumpalan-gumpalan), kita harus hati-hati karena kalau si gumpalan itu dibiarkan bisa jadi mastitis.

Kalo udah mastitis gimana tuh suster?

“wah bisa meriang dan demam bu, kalau sudah parah itu harus dioperasi.”

what. oke fix nggak mau berurusan dengan mastitis. lebih baik rajin rajin mompa sambil ngantuk daripada operasi.

Di awal-awal setelah melahirkan saya sering mengalami PD keras sampai ada gumpalan (pusing yee ASI dikit stres kebanyakan bingung hihihi).  Biasanya saya memompa PD atau langsung disusui ke anak. Tapi saya lebih suka menyusui langsung, karena PD lebih cepat kosong dan anak pun kenyang hehehe.. sampai-sampai anak saya sempet dijulukin ‘medela ultrasonic boom’ saking doyannya nyusu 😛 kalau udah agak parah, biasanya saya lakukan breast care. PD dikompres dengan handuk panas, kemudian dimassage dengan baby oil sampai gumpalan-gumpalan itu hilang. Kalau masih di rumah sakit, minta aja ke bagian fisioterapinya untuk breast care, soalnya kalau dibantu orang lebih mudah daripada breast care sendiri.

3. Awas Tongue Tie!

Banyak dari kita yang belum familiar dengan istilah itu, apa sih tongue tie?

Intinya, kondisi lidah bayi yang pendek tidak memungkinkan perlekatan yang sempurna saat menyusu, walhasil menyusuinya juga jadi nggak lancar. Efek ke bayi: si bayi tidak kenyang-kenyang karena proses menyusui yang tidak sempurna, sementara efek untuk si ibu, puting ibu bisa lecet-lecet (parah). Info lebih lengkap tentang tongue tie bisa dilihat disini dan disini

Sahabat saya sendiri mengalami anaknya tongue tie. Dia mengeluh anaknya nangis terus, nggak mau nenen, dan berat badannya nggak naik-naik. Sempat diberi sufor karena sudah kondisi darurat banget (turun berat badan hampir setengah!), dan setelah diperiksa ke dokter anak di KMC, barulah ketahuan anaknya tongue tie. Cara mengatasi tongue tie ternyata cukup sederhana, yaitu dengan di insisi (memotong tali lidah sehingga lidah bisa menjulur lebih panjang). ih, kok sadis ya? kok tega banget sih sama anaknya? hehe awal-awal saya juga mikir begitu, tapi setelah saya paham, itu adalah tindakan yang tepat agar bayi bisa tetap menyusui dengan ibunya.

4. Dokumen kelahiran

Yup, jangan lupa kita masih harus siapin akte kelahiran anak 😀 sayangnya saya lupa detail ngurus akte kelahiran anak saya.. hahaha. pokoknya ini poin2 yang saya inget:

– Setelah anak lahir, minta surat keterangan lahir dari RSIA. note: Akte kelahiran anak diurus di kelurahan yg sama dengan RSIA nya.

– Siapkan fotokopi KTP, surat nikah, dan KK kita.

– Berhubung saya lahiran di menteng tapi rumahnya di penggilingan, saya harus minta surat keterangan lahir dari kelurahan. syaratnya bawa KK, fc KTP dan surat nikah, dan surat keterangan lahir dari rumahsakit. Nanti di kelurahan KK kita diupdate dengan tambahan nama anak kita.

– setelah dapet surat keterangan lahir dari kelurahan, balik lagi ke RS nya dan kasih dokumen2 itu ke RSnya biar mereka yang ngurusin :p kalo diurusin RS bayarnya sekitar 250 ribuan, akta kelahiran sebaiknya diurus sebelum umur 3 bulan karena kalau makin lama suka ada dendanya 😛

5. Pikirin dana pendidikan dan asuransi buat anak

jeng jeng jeng… Setelah duit tabungan kami terkuras untuk biaya lahiran, alhamdulillah bulan-bulan berikutnya ada rejeki yang bisa lah untuk ditabung-tabung buat sekolah anak nanti. Saya sendiri memilih instrumen investasi emas dan reksadana syariah. saya mengalokasikan budget untuk diautodebet reksadananya, sementara untuk emas, kalau uang sudah cukup baru dibeli 😀 cerita tentang reksadana syariah canggih yang bisa diautodebet di postingan selanjutnya ya 🙂

 

kira kira itulah yang bisa diceritakan tentang lahiran hehehe.. semoga bermanfaat bagi yang membaca 😉 next writing insya Allah tentang imunisasi dan MP-ASI 😉

 

 

Melahirkan itu… (the real part)

Lanjutan dari tulisan saya sebelumnya tentang proses melahirkan, Melahirkan itu… (prolog).

Sampai mana ya tadi? Oh iya, sampai siap-siap ke rumah sakit. Untungnya saya sudah menyiapkan 1 koper yang isinya perlengkapan saya untuk melahirkan di rumah sakit.

Isinya:

  • Daster kancing depan 2 (ternyata kurang, you need 3 at least. untung mama bawain tambahan)
  • Kerudung instan
  • Celana hamil 2
  • Kemeja 2 (untuk pulang RS dan cadangan)
  • Gurita ibu 2
  • Handuk
  • Toileteries (sabun, sampo, odol, sikat gigi, deodoran, parfum)
  • bra menyusui (minimal 4)
  • underwear
  • Kamera
  • Buku kontrol hamil
  • Charger HP
  • Kamera & Charger
  • Plastik untuk baju kotor
  • Pembalut nifas (saya beli pembalut ch*rm yang paling panjang pokoknya. dan ternyata cukup nyaman, dan setelah hari ke 2 darah yang keluar tidak terlalu banyak, seperti darah haid saja)
  • BAJU GANTI UNTUK SUAMI ANDA (yang mana bener-bener lupa saya masukin ke koper – istri egois :p maapin saya ya mas ihihi)
  • Baju tidur cadangan & mittens untuk bayi (1)
  • Baju pulang bayi
  • Selimut topi
  • Disposable diaper untuk bayi (3)
  • Breastpump, botol dan cooler bag kalau udah punya mending dibawa aja. Saya bener-bener kelupaan gara-gara buru-buru.
  • Apron menyusui

Kira-kira itu lah. Banyak ya?

Dalam pikiran saya, saya langsung mikir, wah saya jangan-jangan bakal beneran ngelahirin hari ini. Akhirnya saya menyempatkan diri untuk ngambil roti dan susu bendera coklat untuk saya cemilin (dan bikin suami saya gregetan soalnya kayaknya dia mulai deg-degan, hihi). Tapi kan kita nggak tau berapa lama proses melahirkan, dan kalo lama saya mau makan dulu, karena kita tidak bisa melahirkan dengan baik kalau kita lapar 😛

On the way ke rumah sakit, yang ternyata jam setengah 3 pagi – sama seperti waktu yang selalu saya doktrinkan ke anak saya di kandungan hahaha – saya mulai menghitung kontraksi dan ternyata… kok udah 5 menit sekali sih??? Saya jadi deg-degan juga. Sampailah ke rumah sakit jam 3, dan langsung dibawa ke ruang kala (ruang tunggunya bersalin gitu).

Saya dilayani oleh seorang bidan yang melakukan tes EKG (itu bukan ya namanya? lupa hehe) sambil menunggu. Kemudian si bidan itu menjalani apa yang disebut ‘periksa dalam’ yang bukan pengalaman yang menarik buat saya -__-

“Periksa dalam dulu ya bu.”

“Hah? #@*_#*$&_@&_)$!@&^” – sakit banget cuy!

“Tenang bu, ibu mau lahiran normal nggak?”

“Mau mbak!”

“Nah, tenang dulu ya, saya periksa.”

“#&_)*$*!$!&(*$^)(^@!!!”

“Gimana mbak?” tanya suami saya.

“Udah bukaan 1 mau 2 nih.. ketubannya belum pecah, tapi bocor halus saja, karena masih ada lapisan pelindungnya.. saya hubungi dokter ika dulu ya… Bapaknya daftar dulu ya di depan.”

Dan pergilah si mbak bidannya menghubungi dokter Ika.

Berdasarkan cerita orang-orang untuk anak pertama, katanya ada yang pembukaannya lamaaa banget sampai 36 jam dan akhirnya diinduksi. Asumsi ibu saya, mungkin 8-9 jam. Saya udah mikir, apakah saya harus menunggu selama itu? Saya laper, dan saya pengen minum teh botol. Huhuhu. Saya nggak mau melahirkan kelaparan.

“Mas, aku mau teh botol. Sama sari roti sobek coklat.”

“Yaudah aku beliin,” dan pergilah suami saya daftar ke depan sekalian ke indomaret sebelah rumah sakit.

Tapi ternyata suami saya pulang dengan tangan hampa. “Yang, indomaretnya tutup.”

Noooo… 😦 😦 😦

Oke, saya kayaknya beneran akan melahirkan sekarang. Dan nggak ada yang berani mengungkit tentang kemungkinan “operasi caesar” saat itu juga :p sayup-sayup, di ruangan sebelah terdengar suara ibu-ibu lagi ngeden.

“Ayo bu, ngedennya yang panjang, jangan teriak ya bu, yak, gitu bu betul, bagus-bagus…”

“HUUUUUFFFFFF~”

“Yak sekali lagi bu…”

“HUUUUUUFFFFFFFFF~~”

Plop. Lalu terdengarlah suara tangisan bayi di ruang sebelah. Ibu-ibunya cool abis, nggak pake teriak-teriak heboh, tau-tau keluar aja bayinya. Saya dan suami liat-liatan.

“Kok dia kayaknya gampang banget sih lahirannya?”

(mungkin ini reaksi orang yang kebanyakan nonton film yang ada adegan melahirkannya – yang ibunya teriak-teriak wae)

——

Dan perut saya pun semakin mules. Sekitar jam 4, mbak bidannya datang lagi.

“Periksa dalam lagi ya bu…”

“@&$^@)!*&$)!*&@!!!!”

“Wah, udah bukaan ke-4 ini. Yuk pindah ke ruang bersalin, mumpung ibunya masih bisa jalan. Nanti kalau bukaannya sudah besar ibunya susah jalan…”

Ha. Ha. Ha. Emang bener, sekarang aja jalan rasanya juga udah setengah mati.

Saat saya keluar ruang kala menuju ruang bersalin, saya berpapasan dengan beberapa orang (kayaknya keluarga ibu-ibu yang lahiran sebelum saya). Mereka malah menyemangati saya, “Semangat ya mbak, semoga lancar lahirannya.” huhuhu terima kasih keluarga pasien tetangga. Dan saya pun masuk ke ruang bersalin.

Di sana, saya dikasih baju ganti semacam kimono untuk melairkan. Dan saya disuruh tidur miring sambil menunggu pembukaan.

Di saat mules makin tidak tertahankan, akhirnya sekaranglah saat untuk mempraktekkan ilmu senam hamil: saat kontraksi, tarik napas panjang – tahan – lepaskan. Ilmunya bekerja dengan baik, sampai bukaan ke-4. Setelah bukaan ke-4 rasanya bener-bener ngawur. Bidan menyarankan untuk menghembuskan nafas dengan ritme “fuh-fuh-fuh-fuh”. Tapi lama-lama makin nggak ketahan, dan inilah momen-momen dimana tangan suami jadi korban diremes-remes dan dibejek-bejek oleh ibu melahirkan yang lagi nahan sakit.

Saya bisa bilang, antara bukaan ke 4 sampai 7 itu paling paraahhhh banget sakitnya. Sampai saya nggak bisa ngerasain kaki saya saking sakitnya. Untungnya suami saya (yang tangannya abis saya remes-remes) selalu mendukung dan menyampaikan kata-kata yang sangat encouraging. Ibu saya juga ada di samping saya. Nah, disitulah pentingnya didampingi saat melahirkan menurut saya. Bener-bener nggak kebayang kalau melahirkan sendirian… 😦 (“oh, tenang aja, kalo melahirkan sendiri fungsi tangan suami untuk diplintir-plintir kan bisa digantiin sama tangan co-ass”, kata temen saya yang dokter dan biasa menangani persalinan orang yang pake jampersal :p)

saat periksa dalam bukaan ketujuh saya udah pasrah, terserah mbak bidan lah. Kontraksinya sakit, tapi saya juga ngantuk dan capek nahan sakit. Walhasil saya suka ketiduran dikit-dikit dan kebangun kalau kontraksinya datang. Sekitar jam 6 saya diperiksa sudah bukaan 9, dan tak lama setelah itu saya bisa merasakan ada sesuatu yang ‘turun’ ke jalan lahir saya.

“Bu, nanti kalau sudah bukaan sempurna, langsung ngeden ya…”

“Emang ngeden itu gimana mbak?” –> harap maklum karena di senam hamil ngeden baru diajarkan untuk kehamilan 37 minggu ke atas :p

“ya, kayak pup, tapi pupnya besar dan keras.”

ya sudahlah, whatever will be, will be. sudah jam 6. dokter ika belum datang. akhirnya bidan-bidan itu berkata, “bu, ini sudah jam 6 dan di luar hujan, kayaknya macet, kita takut dokter ika lama sampainya. kalau sudah waktunya, lahiran ditangani kami nggak apa-apa kan bu?”

dan saya, yang waktu itu mikirnya cuma yang penting ini anak lahir gimana caranya terserahlah, tentu saja mengiyakan. sumpah kayaknya itu kepalanya udah mau keluar heuheuheu. “Udahlah mbak, saya mah sekarang yang penting anaknya keluar selamet…”

Tapi, sumpah, udah ada lah 3 kali rasanya saya ngerasain kayaknya kepala anaknya beneran udah mau keluar (dan saya gak ngapa-ngapain lho.. anaknya mau keluar sendiri), dan bidannya bilang, “Bu jangan ngeden dulu!”

Cobak dijelaskan ke saya ngeden sama enggak itu bedanya gimana -__- walhasil, sang bidan pun menahan kepala si bayi dengan tangannya (can you imagine?).

singkat cerita, sampai saya akhirnya boleh ngeden… tiba-tiba kaki saya kesemutan. dua duanya.

“Bu, kalo udah kontraksi, ngeden ya…”

“NGGAK BISA MBAK!!! SAYA NGGAK BISA NGEDEN KALO KAKI SAYA KESEMUTAN!!! AARRRGHHH”

Suami to the rescue. Berhubung si mas udah sering banget menangani kaki saya yang kesemutan tiap kali saya bangun tidur, dia langsung sigap mijetin kaki saya. Bayangkan, kontraksi yang sakitnya maknyus, kaki kesemutan pula. Inilah definisi sebenarnya dari “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”.

Setelah prosesi pijat memijat, mulailah saya ngeden. Sekali. Dua kali. Kurang keukeuh. Ngeden aja mesti ngotot ya, gak bisa sesantai ngeden kalo lagi pup 😐

Ngeden ketiga, kepala bayinya udah nongol. Tapi karena nafas saya kurang panjang, akhirnya batal lah dia keluar. Dan saya samar-samar mendengar suara “ctik-ctik” pertanda ada yang robek. heuheu. tapi walaupun lahiran normal melibatkan robek disini dan disitu, itu gak ada apa-apanyalah dibanding sakit kontraksi.

Ngeden selanjutnya – kata suami saya muka bidannya udah pada tegang semua. Ada 3 bidan yang menangani saya, 1 bidan menunggu si bayi di jalan lahir.. dan yang 2 mijetin perut saya biar bayinya turun. Kata suami saya, setelah kepalanya keluar setengah itu sempat stuck agak lama dan itu adalah masa yang kritis, karena kalau nggak keluar bisa-bisa anaknya… you know. Tapi alhamdulillah, dengan perjuangan dibantu oleh ridha Allah via 3 orang bidan itu akhirnya saya berhasil melahirkan anak pertama saya. Setelah kepalanya keluar.. FIUH. Lega banget. Hening beberapa saat, baru setelah itu saya mendengar anaknya nangis. hehehe, alhamdulillah. Waktu itu jam 7 pagi. Total in labor process: 4 jam saja!

“Waduh, ini kepala anaknya lonjong sekali ya… Kelamaan di jalan lahir sih..” kata seorang bidan.

Terus salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? :p lagian udah mau brojol kontraksi ditahan-tahan :p

“Waduh? Terus gimana dong kalo kepalanya gitu?”

“Tenang aja bu, nanti kalau dimandiin kepalanya diusap aja pelan-pelan nanti juga bulet lagi kok kepalanya.”

“Oh oke.”

Tips: Kalo udah bukaan 10 kaga usah ditahan-tahan dah biar anaknya cepet keluar

Setelah nangis nangis dan dibersihkan, anak saya diletakkan di dada saya untuk proses IMD. Saat itu anak saya dipakein topi kupluk yang kegedean lucu banget deh :p Duh, anak saya kecil banget, lucu, gemes, masih nggak percaya ini toh yang dari kemarin ada di dalem rahim. Dan bukannya aktif merayap mencari payudara ibunya seperti yang ditunjukkan video saat seminar laktasi (saya sama suami sampe terharu.. kayaknya gara-gara backsoundnya lagu bunda melly goeslaw), anak saya malah bengong dan ileran. Huahahah :)) Tapi tetep lucu, mukanya masih planga plongo sana-sini (bingung ya nak liat dunia :p). Tiba-tiba..

“Aduh.. maaf ya saya terlambat.. kapan ini lahirnya?”

Datanglah dokter ika huahaha. Sesuai dugaan, kena macet karena hujan dan pagi-pagi (dan kayaknya beliau juga nggak nyangka prosesnya secepat ini). Semacam inspektur vijay :p akhirnya setelah halo halo dengan si newborn baby, saya pun dijahit.

Berhubung proses IMD belum berhasil dan anak saya harus dibersihkan dan diobservasi, akhirnya anak saya dibawa dulu ke perina. Eh tiba-tiba muncul bidan Yuni yang suka ngelatih senam hamil.

“Lho, mbak, udah lahiran?”

“Hehe iya nih, kecepetan.”

“Gimana mbak, senam hamilnya bermanfaat nggak mbak?”

Saya cuma cengengesan. Itu semacam dikasih tau caranya nembak pake senapan, tapi begitu turun langsung di medan perang… ya gitu deh :p

Beres, semua kelar, semua meninggalkan ruangan, mamah pun pulang untuk ngantor (emang dahsyat mama gw ini). Tinggal saya dan suami di ruang bersalin.. dan blas. Sayapun ketiduran.

Sekitar jam setengah 10 saya kebangun dan melihat suami saya ketiduran di samping tempat tidur (kayak di film-film gitu) hiks kasihan pasti pegel banget. Akhirnya saya bangunin suami dan minta dia nanya ke bidan kapan saya bisa ke kamar. Sayapun dikasih roti, air dan bubur kacang hijau. Kata bidannya, saya boleh ke kamar kalau sudah tahu cara BAK & BAB.

This is the hardest part.. karena beberapa bulan yang lalu saya masih inget temen saya yang baru lahiran bikin status FB ini:

Boker setelah melahirkan itu… sesuatu banget. #thingstheydonttellyou

Nah mau nggak mau saya juga jadi parno dong yaa.. Tapi ya kali nahan pipis ampe besok-besok, akhirnya saya pasrah saja dan pergilah saya ke toilet buat pipis.

Ternyata rasanya biasa aja deng. Nggak sakit nggak apa gitu (atau mungkin sakit, tapi karena udah mengalami sakitnya kontraksi jadi kebal.. hahaha). Saya pun laporan ke bidan dengan gembira. Berhasil. Akhirnya boleh pergi ke kamar dan saya pun diantar dengan kursi roda.

 

Room 201

Suami saya memesan kelas utama di kamar 201, yang ternyata kamarnya kecil sekali.. Tapi yang penting mah bisa tidur pokoknya, ngantuk parah soalnya. Anyway, there is a certain reason why you should avoid room 201 at RSIA Tambak:

  • Ruangannya kecil dibandingkan kelas 1 (yess kelas 1 ada yg lebih gede ternyata. so weird)
  • Nggak ada gorden di tempat tidurnya. Jadi nggak nyaman kalau mau menyusui dan lagi ada tamu (dan disinilah apron menyusui berjasa)
  • Begitu ada orang buka pintu, kita bisa lihat lift langsung dari tempat tidur. Bayangin aja kalo pas ada orang buka pintu, pas pintu lift kebuka. Pokoknya parno banget dah jadinya. Sampe-sampe kamar ini saya juluki “Kamar ASI expose” karena saya suka jadi parno kalo lagi nyusuin, takut ada yang masuk hehe.
  • AC nya kayaknya kurang dingin yak

Tapi walaupun begitu, ruangan kecil itu ada positifnya juga. Karena nggak muat orang banyak, tamu-tamu juga jadi nggak banyak-banyak dan nggak lama-lama, jadi kitanya bisa lebih istirahat 🙂 intinya mah, ya masih mending deh daripada gak dapet kamar. Karena pas mau pindah, ternyata udah nggak ada kamar yang kosong. Dan kamar ini juga deket banget sama perina.

Tips: Cek kamar yang kamu inginkan sebelum lahiran di rumah sakit incaran kamu untuk menghindari kamar-kamar jackpot macem kamar saya ini hahaha

Dan setelah sampai kamar, sebagaimana tujuan utama kita pergi ke kamar, kita pun tidur lagi. Untungnya ada sofa bed jadi suami saya tidur dengan cukup nyaman.

Untuk pertama kalinya, akhirnya saya berhasil megang HP. Refleks pertama:

WA DokNyom.

“Dok, maap saya nggak jadi mampir ke klinik, saya tiba2 melahirkan euy.”

BBM Niken, temen saya yang dari jaman saya hamil udah heboh banget nanya minta kado apa. Akhirnya waktu itu saya minta bantal menyusui. Dan sekarang saat paling tepat untuk klaim hadiah :p

“Cuy. Gue lahiran.”

“Haaahhhh?? Boong!! kaga percaya gue! mana fotonyaa?”

*kirim foto*

“Oke nanti gue mampir yak. Untung gue udah beli hadiahnya.”

Tips: Request hadiah ke teman-teman dan keluarga terdekat membantu anda untuk mendapatkan hadiah yang paling sesuai kebutuhan :3

Setelah itu baru ngabarin teman-teman terdekat. Sengaja nggak posting dimana-mana soalnya saya ngantuk, mau bobo dulu heuheuheu.

Lanjut lagi di posting selanjutnya 🙂

Melahirkan itu… (prolog)

Yak, setelah sekian lama nggak nulis dengan segala alesan (alias gak mood :p) jadi, mari kita menulis lagi! Sekarang saya mau cerita pengalaman melahirkan pertama saya yang memang bagusnya ditulis, biar gak akan lupa sampe anak saya gede nanti hehehe…

Mulai dari mana ya?

Senam Hamil

Pokoknya, sejak saya hamil 32 minggu saya mulai merutinkan untuk ikut senam hamil setidaknya seminggu sekali, dan saya pilih hari rabu karena saya masih nyetir sendiri dan nggak mau banget deh ketemu sama kemacetan jakarta -_- Saya senam hamil di RSIA Tambak dengan beberapa alasan:

  1. Mau lahiran di sana
  2. Kontrol dokter di sana
  3. Termasuk tempat yang direkomendasikan setelah saya gentayangan di dunia maya sana sini
  4. MURAH. hahahaha.

Seriously, 35 ribu rupiah saja per sesi atau 120 ribu per 4 sesi pake kaos+goody bag loh.. Meanwhile di tempat lain ada yang bisa 75 ribu per sesi (glek!). Detail per senam hamilan ini mungkin akan saya ceritakan di postingan lain lah.. 😀

Oh iya, semangat senam hamil ini juga karena saran dari Mbak Esti (senior saya di kantor lama), pesannya: “Pokoknya rey, lu harus ikut senam hamil ya. gue jadi tau cara ngeden gara-gara ikut senam ituh.”

Baiklah mbak 😀 kesan senam hamil di RSIA Tambak.. seru, ruangannya enak, dan jadi ketemu temen2 baru jg. Agak melegakan lah ketemu ibu-ibu senasib udah dekat-dekat persalinan gitu.. cukup melegakan ketemu ibu-ibu yang sama-sama clueless kayak saya :p

 

Lahiran Normal vs Caesar?

There’s a pro and cons of having a doctor mama, and in this case, she worries a lot about how I am going to give birth later on. Saya pengidap asma (yang terakhir kumat Desember 2013 kemarin), baru sembuh dari TBC juga September 2013 kemarin. Intinya, si mamah sangat khawatir dengan performa paru-paru saya untuk lahiran normal. Nanti takut gak bisa ngejen, takut pingsan pas di tengah proses lahiran, dll. Padahal saya pribadi dan suami keukeuh aja mau lahiran normal, karena kita pikir kalau memang bisa normal ya kenapa harus operasi? Yang alami-alami baik lah kalo bisa dilakukan 😀 kebetulan posisi bayi juga nggak sungsang, insya Allah bisa lah lahiran normal (dan, ehm. lahiran normal harganya setengahnya caesar. ehm lagi.).

Etapi ternyata mamah cerita tentang kekhawatiran beliau tentang asma saya ke bapak-ibu mertua saya. Bapak mertua saya yang sangaatt expecting kelahiran cucu pertamanya, langsung mendukung mamah. Intinya beliau bilang, minimalisir resiko sebisa mungkin! (Sampe-sampe pada nawarin mau nambahin untuk nambahin biaya operasi, heuheu)

Akhirnya kami tanya ke beberapa dokter mengenai orang asma yang lahiran normal. Komentarnya:

“Terakhir kambuh pas hamil 5 bulan to? Ya bisa lah, ndak usah khawatir…” -dr Ika SPOG

“Saya 15 tahun praktek belum pernah lihat ibu-ibu yang asma, kumat asmanya saat dia melahirkan. Saat melahirkan kan tubuh kita sudah dalam keadaan siap, jadi nggak ada masalah itu harusnya…” – dr Irvan SPOG

Suami saya sendiri hanya bertanya ke saya, siap nggak lahiran normal? Saya sendiri secara mental insya Allah siap, walaupun memang kadang-kadang mikir gimana nanti kalau operasi caesar aja. Akhirnya kita cuma bilang ke orangtua, “Kita lagi pertimbangkan.”

 

(Never) Try Your Breastpump Before Due Date

Salah satu hadiah terbaik yang saya dapat saat saya hamil adalah breastpump medela lungsuran dari mbak anila, senior saya di kantor yang sudah beranak 2 dan nggak ada rencana nambah lagi. Dan nggak cuman satu breastpump, tapi TIGA! wow! Dan nggak breastpumpnya aja, tapi sama botol dan coolerbagnya! WOW WOW! mari kita doakan mbak anila supaya murah rejeki selalu dan pahala dari breastpump yang dilungsurkan ke saya mengalir terus dan menjadi tiketnya ke surga :3

Jadi saya dapat 1 set medela swing, base(manual) dan mini elektrik. Kata sahabat saya, Una, yang udah lahiran duluan, breastpump yang paling oke performnya si medela mini elektrik, tapi jangan pertama make langsung si mini elektrik, soalnya perform oke ternyata sakitnya maknyus di awal-awal. medela swing halus, tapi sedotannya kurang mantap. medela base, ya capek juga kali mompa lumayan juga tangan jadi berotot :p

dan statement paling penting yang menjerumuskan:

“Sebelum lahiran, lu coba dulu ya breastpumpnya.”

Setelah beli-beli sparepart medela baru (yang pastinya gak semahal kalo beli medelanya baru, hohoh), bermodal rasa penasaran, saya cobalah si breastpump itu satu-satu. Medela Base dan Swing memang nggak seheboh itu tarikannya. Tapi begitu nyoba medela mini elektrik…

… “BUSET!” komentar pertama saya waktu itu. Rasanya sakit (yaa, ibu ibu yang pernah make medela mini elektrik tau lah yaa rasanya :p) dan diikuti dengan rasa mules parah kayak mau dapet.

ingat peringatan di buku manual breastpump: menggunakan breastpump sebelum saat melahirkan dapat memicu kontraksi.

So it is plausible.

Beberapa hari setelahnya saya jadi mulai diserang kontraksi kecil-kecil lucu, sehari 1-2x (waktu itu saya baru minggu ke 35). Saya udah feeling ini braxton hicks, dan dr Ika juga bilang begitu. Tapi makin hari rasanya makin nggak lucu, sampai kadang-kadang parno pengen lari ke rumah sakit aja bawaannya. Dan suami saya semakin aware setelah saya ceritakan kebodohan saya nyobain breastpump sebelum saatnya itu :p

 

Banyak Jalan dan Berdiri Sangat Membantu Mempercepat Kelahiran

Beberapa minggu sebelumnya, sepupu saya sempat berpesan:

“Supaya lancar lahirannya, minum minyak goreng 1 sendok setiap hari.”

Eleuh? Minyak goreng rasanya kayak gimana juga saya nggak kebayang, makan gorengan yang minyaknya banyak aja saya nggak doyan apalagi minyaknya aja. Dan ibu hamil harus makan yang enak-enak dan bahagia… So how about no. Maapkan saya ya mbak.. gak sanggup saya..

Daripada cara itu, saya lebih suka jalan-jalan banyak. Kebetulan kehidupan keseharian saya lumayan menuntut jalan-jalan. Nyeberangin jembatan halte busway yang panjang, inspeksi gedung 20 lantai, jalan ke stasiun kereta, muter-muter ngecek proyek, you name it. Tapi tentu saja kalo dirasa tepar langsung duduk dan pulang naik taksi.

Saya ingat di hari Minggu terakhir sebelum saya melahirkan, saya dan suami datang ke nikahan teman. Namanya nikahan teman, gak ada dong ya ceritanya duduk dan makan-makan cantik. Pasti jalan dikit ketemu temen,ngobroool lamaaa. Suami saya sibuk banget ngobrol sama temen-temennya, saya juga, sampai malah temen saya yang warning terus nyuruh saya duduk (tapi nggak pernah sampai ke kursi, karena sepanjang perjalanan ke sana ketemu orang dan ngobrol lagi…). Jadi ada kali itu saya berdiri 1-2 jam. Hamil 36 minggu :p pulangnya langsung tepar.

 

Telepon Pertanda dari RSIA Tambak

Hari Seninnya, saya ditelepon oleh RSIA Tambak. Yang nelepon namanya Bu Nining (kalo gak salah), beliau mengecek kapan jadwal kontrol terakhir saya dan kontrol berikutnya, menanyakan keluhan saya (mules/nggak, keluar darah nggak, dlsb). Intinya beliau menyampaikan, kalau nanti sudah kontraksi 5 menit sekali, atau ketuban pecah, atau ada darah yang keluar, segera pergi ke Rumah Sakit.

“Iya bu, makasih banyak ya. Doain juga jalannya nggak macet, hehehe.”

Ngobrol-ngobrol soal macet, memang berdasarkan pengalaman saya jalan ke RSIA Tambak itu lumayan rawan. Jadilah saya sering mendoktrin bayi dalam kandungan:

“Nak, nanti kalo kamu udah mau keluar, kontraksinya jam setengah 3 pagi aja ya, supaya jalan ke rumah sakitnya nggak macet jadi cepet sampai.”

Saya pun cerita ke suami saya tentang telepon dari RSIA Tambak itu. “Wah, oke juga ya customer relationnya,” katanya. Akhirnya suami pun cerita ke Mike, temen kerjanya. Dan si Mike cuma komentar:

“Itu kan cara halus untuk menyampaikan, lu lahiran di sini ya, awas lu ya kalo gak lahiran di sini :P”

Tapi yang jelas, servis baik itu membuat saya dan suami makin sreg dengan RSIA Tambak 😉

 

Besok Kamu Mau Ngapain?

Seperti biasa, Suami suka nanya hari ini/besok saya mau ngapain. Untuk hari Rabu saya udah rencana mau senam hamil dan mensteril Steak, kucing betina saya yang suka hamil tapi nggak pinter ngurus anak. Saya juga udah janjian sama Drh Nyomie, vet langganan saya yang oke banget dan prakteknya deket rumah.

Malam-malam, saya nungguin suami yang pulang lembur. Karena bingung mau ngapain, akhirnya saya memutuskan untuk mencuci dan mensterilkan segala botol dan printilan breastpump. Karena nggak punya sterilizer, ya jadilah saya ngerebus botol :p pulang-pulang jam 11 malam suami saya heran, ngapain ini istri gue malem-malem di dapur? Setelah ditegur sama suami jangan kebanyakan berdiri, akhirnya kami tidur sekitar jam 12 malam setelah ngobrol-ngobrol.

Berhubung saat usia kehamilan semakin besar, saya makin sering bangun malam untuk ke kamar mandi. Tapi bangun yang satu ini agak beda, perut rasanya mules sampai-sampai susah mau tidur lagi, dan setelah buang air kecil juga kok rasanya ada yang ngerembes terus… Akhirnya saya bilang ke suami, kok ini ada rembesan dan agak mules ya?

“Air ketuban kamu itu kali.”

Hah. Oh iya, ya, air ketuban kali ya? Kok saya malah nggak kepikiran 😐

“Mau ke rumah sakit?”

Waktu itu saya masih kehamilan 36 jalan 37 minggu. Saya ingat dulu Marshanda pernah rembes air ketubannya di kandungan bulan ke-8, dan setelah it melahirkan normal 9 bulan (don’t ask how I know that fact..). Saya pikir kasus ini mirip-mirip lah ya sama kasusnya si Marshanda.  Saya masih gak ngeh kalau melahirkan bisa beneran dalam hitungan jam lagi.

“Telepon rumah sakitnya dulu aja deh,” saya sebenernya agak mager kalau harus ke rumah sakit sekarang. Tapi setelah 2 kali ditelepon, tidak ada yang menjawab dari rumah sakit. Ya jam 2 pagi gitu  nelponnya.

dan bersiaplah kita ke rumah sakit…

(bersambung ke part selanjutnya :p)